PUING-PUING RERUNTUHAN BANGUNAN CANDI
DI DALAM
ISTANA KOTA MACAN PUTIH
Berdasarkan temuan Juargang tahun
1849 dengan ukuran panjang 36 kaki, tinggi dan lebar 12 kaki. Dibangun di atas
sebuah pondasi yang terbuat dari batu kali yang berbentuk segi empat,
menyerupai kura-kura dengan dilingkari dua ekor ular. Kura-kura adalah lambang
dunia, ular melambangkan waktu atau zaman.
Hiasan pada candi, menunjukkan
kesenangan-kesenangan orang jawa seperti berburu binatang, melaksanakan upacara
pemujaan, dan lain-lain. Selain itu, Reliefnya menggambarkan
kemunduran-kemunduran orang jawa, seperti akibat konflik perang saudara.
Dindingnya yang terletak sebelah
dalam terdiri dari batu bata, dan atapnya terbuat dari batu. Sisa-sisa bangunan
ini telah runtuh dan tidak berbekas. Jalan masuknya di sebelah barat ada
pendopo kecil, dimana pondasi bangunan itu masih tersisa dan terdapat anak
tangga dalam candi.
Fragmen hiasan berupa
makhluk-makhluk yang menakutkan, selain itu juga ada bangunan pancuran kecil
dan saluran-saluran air yang dipergunakan untuk upacara-upacara memberi
sesajian, pensucian, dan pembersihan. Konon kolong saluran air ini, pada waktu
terjadinya kekacauan politik di istana macan putih yaitu Pangeran Mas Sosro
Negoro pengganti Tawang alun II tahun 1691 tidak disetujui oleh
saudara-saudaranya dan dewan penasehat kerajaan, akibatnya Mas Sosro Negoro
mengamuk, siapa yang dijumpai dibunuh, termasuk anak istrinya. Untuk
menyelamatkan diri, permaisuri dan anak kecilnya yang bernama Mas Purbo
(Danurjo) melalui kolong saluran air, kemudian menempat di daerah Laban
Asem/Laban Cino, nama daerah ini diambil dari pengasuh/emban cino yang mengasuh
Mas Purbo.
Kemudian, untuk balas dendam
kepada Macan Apura yang mengkudeta kedudukan bapaknya, ibu Mas Purbo meminta
bantuan untuk mengusir Macan Apura yang kedudukan istananya sudah di pindah ke
Wijenan Singojuruh. Kemudian atas bantuan buleleng Macan Apura melarikan diri
ke Pasuruan.
Ditempat yang lebih tinggi, yang
berada di sebelah barat diperkirakan sebagai tempat pemukiman para pembesar
kerajaan Macan Putih.
Faktor – faktor yang
menyebabkan rusaknya Situs Istana Macan Putih :
1. Akibat Perang saudara dan
serangan-serangan Kerajaan sekitar seperti Mataram, VOC, Kerajaan Bali yaitu
kerajaan Buleleng dan Mengwi.
2. Letusan Gunung Raung
dengan puncaknya Gunung Merapi pada tanggal 23-24 Januari 1817 menutup kota
Macan Putih.
3. Serangan meriam Belanda
pada waktu aksi polisionil Belanda tahun 1947, kawasan situs ini dianggap
sebagai sarang Gerilyawan Republik.
4. Kesadaran masyarakat
sekitar yang rendah terhadap arti penting situs sejarah untuk mencari identitas
dan kebanggaan daerah. Pada tahun 1971, pada waktu terjadi Paceklik satu tahun
lebih gagal panen akibat serangan hama wereng yang terjadi di Kabupaten
Banyuwangi. Sehingga masyarakat Macan putih dan sekitarnya terjadi kelaparan.
Puing – puing kekayaan bekas situs kerajaan Macan Putih banyak dijarah
masyarakat yaitu Dengan menumbuk batu bata menjadi pengganti semen yang
harganya cukup menggiurkan. Disamping itu, adanya oknum – oknum yang tidak
bertanggung jawab dengan mafia jual beli benda – benda purbakala. Sampai –
sampai ada kabar Batu bata tersebut laku seratus ribu rupiah per biji.
5. Rendahnya kepedulian
Pemerintah Daerah terhadap pelestarian situs – situs kebesaran kejayaan
Blambangan.